Custom Search

26 Oktober 2008

Pornografi Urusan Nilai Privat, Bukan Urusan Negara


Eva Sundari
Anggota dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Eva Kusuma Sundari berpendapat persoalan utama dalam RUU Pornografi adalah paradigma dan logika mengenaiisu pornografi yaitu adanya campur tangan sektor publik ke dalam sektor privat. Negara kita adalah negara hukum. Maka harus memakai prinsip-prinsip hukum di dalam menyusun hukum. Jadi jangan masalah nilai-nilai subyektif dipakai dalam menyusun UU yang malah akhirnya bertabrakan dengan nilai-nilai orang lain.
Menurut Eva, dalam penyusunan RUU Pornografi juga banyak orang tidak memahami bahwa itu melanggar UU Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU tersebut menjadikan dan menjamin Bhineka Tunggal Ika sebagai prinsip setiap pembentukan perundang-undangan. Berikut wawancara Wimar Witoelar dengan Eva Sundari.

Saya mendengar Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pada saat kita wawancara ini akan mengadakan jumpa pers mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi. Mungkin Anda bisa menceritakan inti jumpa pers tersebut untuk pengetahuan para pembaca?
Kita merasa mendapat mandat dan memang beberapa pihak, terutama yang belum sepakat dengan draft hasil Panitia Kerja (Panja) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menitipkan aspirasi kepada kita dalam upaya perbaikan-perbaikan dan penyempurnaan. Bagi PDI-P, sejak awal bukan hanya pasal per pasal yang menjadi persoalan. Namun paradigma dan logika mengenai isu pornografi itu yang menjadi persoalan. Sehingga kemudian implikasinya ke pasal-pasal. Kalau kita melihat sejarah dan juga draft awalnya, penyusun draft ini adalah Departemen Agama bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) ketika masa Gus Dur. Sehingga kita bisa paham kalau kemudian pornografi dianggap masalah akhlak dan moral.

Apakah ini sama dengan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP) yang dulu?
Betul, yang sedang saya bicarakan adalah RUU APP. Kita bicara kesejarahan. Nah kita masih mengalami problem ketika mencoba mentransformasi draft yang kedua untuk menjadi hukum positif, supaya tidak ada problem multi interpretasi dan perdebatan. Jadi PDI-P akan menggelar konferensi pers mengenai RUU itu, dan merespon masukan-masukan dari masyarakat yang kita sudah kompilasi bersama tim teknis yang ada di Panitia Khusus (Pansus) DPR. Ada 24 isu krusial dan PDI-P sudah mengadakan studi dan diskusi internal untuk memunculkan perbaikan-perbaikan yang pas. Hal ini terutama untuk merespon problem tentang posisi yang harus diluruskan, yaitu harus menjadi criminal act instead of morality issue (tindakan kriminal bukan isu moral).

Bukankah criminal act itu sudah diliput oleh UU lain atau apakah memang masih perlu ditambah juga?

Sebetulnya begitu. Kalau kita melihat UU yang lain, ketentuan pornografi sebetulnya sudah ada dimana-mana. Tapi kemudian masalah isu tentang penghukumannya yang tidak ada. Seperti di UU tentang perlindungan anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan sebagainya. Secara normatif memang sudah diatur di UU tersebut tapi kemudian penegakannya yang kurang di situ. Jadi bukan masalah struktur hukumnya yang lemah tapi penegakan hukumnya yang memang lemah. Kita paham ternyata alat hukum untuk menegakkan itu yang lemah. Hal ini yang kita coba isi di RUU Pornografi.

Menarik sekali untuk awam dan pembaca Perspektif Baru bahwa ada satu RUU dimana masalahnya bukan di pasal-pasal tapi dilihat dari prinsip fundamental adanya UU. Berarti disini yang kita persoalkan, apakah ada masalah pornografi dalam masyarakat atau itu sengaja diadakan begitu, dan sebetulnya bagaimana pornografi dalam sistem nilai Indonesia?

Nah ini jadi salah satu kelemahan juga karena kita melihat pornografi melalui kacamata yang subyektif. Misalkan masalah ketelanjangan. Ketelanjangan itu bagi masyarakat Bali dan Papua tidak ada kaitannya dengan pornografi dan juga memang ekspresi. Kemudian ketika dilihat apakah itu pantas atau tidak maka ini yang kemudian menjadi problem. Sementara dalam prinsip hukum negara kita yang menggunakan civil law, sebetulnya itu harus jelas bahwa ini area publik dan negara tidak mengintervensi private life dari orang-orang agar tidak menjadi totaliter. Jadi harus ada private life dimana orang boleh berekspresi, boleh melakukan segala interpretasi sesuai dengan kemauan dia asal tidak menganggu publik. Negara seharusnya hanya fokus kepada publik, tapi masalah nilai yang subyektif ini malah kemudian dimasukkan ke dalam draft UU, sehingga sudah pasti ada debat di situ.

Jadi lebih luas lagi, selain masalah pornografi juga masalah bagaimana peran pemerintah atau publik dalam private life atau privacy di Indonesia yang banyak dipersoalkan. Saya juga tidak mengerti mengapa belakangan ini wilayah kehidupan privat penduduk berusaha dicampuri oleh publik antara lain melalui RUU Pornografi yang dulu heboh sebagai RUU-APP, dimana saya juga ikut sebagai pihak yang berbicara. Saya kira isu itu sudah selesai tapi rupanya sampai sekarang masih ada usaha untuk menggolkan UU pornografi. Siapa yang menyetujui dan menolaknya, maksudnya, bagaimana demografi pendukung dan penentang RUU pornografi?

Kalau dibuat peta pendukung dan penentang yang ada di dalam DPR, sebetulnya PDI-P bukan termasuk yang sepenuhnya menolak tetapi tolong dong yang benar dalam membuat UU. Negara kita adalah negara hukum maka harus memakai prinsip-prinsip hukum di dalam menyusun hukum. Jadi jangan masalah nilai-nilai subyektif dipakai dalam menyusun UU yang malah akhirnya bertabrakan dengan nilai-nilai orang lain. Kita sepakat, misalnya untuk masalah anak, memang anak mutlak untuk dilindungi dari dampak negatif dari pornografi. Ini yang seharusnya menjadi fokus untuk perlindungan dari dampak pornografi. Di dalam perlindungan dari dampak pornografi, kita juga akan mengurus tentang disitribusi tentang barang-barang pornografi. Kenyataannya, sekarang di Grogol, Jakarta Barat, barang pornografi mudah dilihat dan didapat anak-anak. Padahal itu tidak terjadi di negara-negara yang sebetulnya pornografi tidak diharamkan total tetapi diatur untuk tidak mengganggu hak orang dewasa mengkonsumsi barang pornografi. Itu karena orang dewasa sudah mengetahui yang terbaik bagi dirinya, sedangkan anak-anak tetap harus total diproteksi.
Dalam hal ini untuk pasangan yang sudah tua perlu stimulus untuk alasan kesehatan. Jadi kita ingin supaya hal itu tidak diberangus total, tapi di dalam draft Panja hal itu diberangus total. Padahal hak kepemilikan personal dijamin di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) pasal 28, bahwa setiap orang dilindungi kepemilikan pribadinya dan tidak boleh diganggu dengan alasan apapun.

Jadi itu totaliter. Saya belum mempelajari pasal-pasalnya tapi apa suasana totaliter yang terwujud juga dalam pasal-pasal RUU Pornografi?

Termasuk wilayah di dalam keluarga bahwa di dalam keluarga tidak boleh orang melakukan ini dan itu. Padahal itu otoritas keluarga. Jadi tidak boleh negara turut campur ke sana. Masalah yang agak mengerikan juga adalah masyarakat sipil diberi wewenang untuk melakukan penegakan yang seharusnya dilakukan polisi.

Wah, itu anarki?

Betul dan sangat berbahaya. Itu terdapat di dalam pasal 24 dan kita menginginkan hal itu dihapus. Tetapi untuk yang menyangkut anak, masyarakat harus terlibat terutama dalam hal pendidikan seperti pendidikan keluarga, pendidikan di organisasi-organisasi masyarakat, lembaga agama. Jadi lembaga pendidikan boleh mengurus mencegah dampak pornografi ke anak karena memang anak-anak harus total diproteksi.

Mungkin orang yang totaliter belum percaya bahwa lembaga sosial, lembaga keluarga, lembaga agama bisa mengatur moralitas, artinya mungkin dia sendiri tidak bisa mengatur anaknya. Apakah perselisihan pendapat dalam RUU ini terefleksi di masyarakat saat ini?

Sebetulnya iya. Teman-teman, pihak-pihak, bahkan lembaga-lembaga yang memiliki legitimasi seperti di Nusa Tenggara Barat (NTB), Sulawesi Utara (Sulut), Bali termasuk gubernurnya secara resmi menolak RUU Pornografi karena memang ada potensi konflik dan potensi penyeragaman. Hancurlah masyarakat Indonesia kalau diseragamkan. Betul, prinsip tentang bagaimana menjaga Bhinneka Tunggal Ika, yang di dalam UU No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan menjamin kebhinekaan dan menjadi prinsip di situ.

Satu hal yang menggembirakan dong kalau ada gubernur yang menentang. Jadi memang otonomi politik ini sudah dihayati juga di Indonesia. Beberapa tahun lalu saya mendengar implementasi dari RUU APP itu sudah mulai dijalankan pada daerah tingkat dua, seperti di Tangerang ada peraturan lokal yang melarang pornografi. Apakah situasi itu masih berlaku?

Ya, di dalam catatan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan ada 86 produk peraturan daerah yang diskriminatif. Jadi kita memakai kacamata yang tidak sesuai konstitusi terutama prinsip non diskriminasi. Dalam hal ini perempuan dan roh dalam penyusunan draft awal bersifat mass genocide. Mass genocide itu artinya tubuh perempuan dihajar habis. Kita mengurus pornografi tetapi kemudian di dalam pasal-pasalnya tubuh perempuan yang dihajar habis. Ini yang harus diluruskan juga bahwa pornografi adalah barang, dan barang-barang itu yang seharusnya diatur bukan melarang hak berekspresi, hak mengekspresikan seksualitas melalui baju dan cara bicara. Ada di dalam RUU Pornografi definisi tentang desah suara, padahal bagaimana kalau seseorang mengatakan saya seksi, tapi orang lain mengatakan tidak. Ini akan menjadi problem di dalam penegakan hukumnya.

Dulu sewaktu rancangan UU ini mulai muncul, banyak kelompok masyarakat yang secara spontan militan menolaknya. Apakah mereka masih semangat atau kehilangan energi untuk menentang itu?

Dalam catatan saya, demo oleh masyarakat sipil tetap masih ada, bahkan pada 11 Oktober 2008 di Bali ada rencana untuk penolakan secara besar-besaran. Saya mengatakan agar itu bersifat rekonstruktif. Pada 12 Oktober kita berencana ke tiga daerah untuk public hearing terutama kepada pihak-pihak yang belum bersepakat, bahasa yang lebih lugas adalah menolaknya. Kita akan berdialog. PDI-P akan siap menunjukkan draft konstruktif kita yang akan dipaparkan dalam konferensi pers dengan judul pornografi, tetapi fokusnya tetap kepada bahwa ini isu publik, tidak boleh intervensi kepada kehidupan pribadi, perlindungan kepada anak dan perempuan harus diakomodasi bukan kemudian anak dihukum seperti orang dewasa melakukan perbuatan-perbuatan di bidang pornografi.

Apakah nanti perbedaan draft yang modifikasi tersebut dengan draft yang totaliter disosialisasikan lagi ke masayarakat?

Ya, kita siap mendiskusikan 24 pasal yang sensitif dan mendatangkan protes. Draf kami solusinya. Kita memang tinggal satu draft tapi kami mempunyai tantangan untuk memperjuangkan draft kami di Panja.

Apa daerah-daerah selain Bali yang tidak menyetujui RUU Pornografi?

Bali, NTT, Papua, Sulut. Dalam hal ini Sulut bersikap tegas baik gubernur maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerahnya (DPRD).

Mengapa daerah seperti DKI, Jawa Barat, dan Jawa Tengah bersikap diam?

Jawa Tengah dan Yogyakarta menolak. Bahkan untuk Yogyakarta, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas (istri Sultan Hamengkubuwono X - Red) yang langsung memimpin kampanye penolakan tersebut.

Bagus sekali. Apakah ini merupakan isu PDI-P atau ada partai lain di barisan yang sama?

Partai Damai Sejahtera (PDS) bersama kita. Argumennya sama bahwa ini bukan sesuatu yang harus mengintervensi wilayah kebebasan kehidupan pribadi (private freedom) dan harus diluruskan menjadi bahasa hukum positif sesuai dengan moralitas yang kita setujui bersama, misalnya, hak asasi manusia (HAM), konvensi-konvensi, dan konstitusi. Itu adalah moralitas kita, bukan moralitas sesuai dengan pandangan kelompok, agama tertentu dan sebagainya. Kita tidak ingin Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dikorbankan untuk pemaksaan satu nilai tertentu kepada kelompok masyarakat lain.

Perspektif Baru mempunyai misi pendidikan politik untuk masyarakat. Sebetulnya bukan pendidikan tapi sama-sama belajar dan bicara seperti sekarang dengan seorang praktisi politik Eva Kusuma Sundari. Ini sangat edukatif dan juga membuka mata bahwa politik itu bukan hanya soal mencalonkan presiden dan gubernur tapi yang lebih penting adalah isu-isu masyarakat yang harus atau tidak harus diwujudkan dalam hukum dan UU. Sekarang kita berbicara soal pornografi. Yang menarik adalah seperti Anda katakan tadi bukan soal pasal per pasalnya tapi masalah campur tangan sektor publik ke dalam sektor privat. Dalam hal ini pemerintah tentu mempunyai peran dan suara yang besar. Tadi Anda mengatakan RUU tersebut mulai muncul di pemerintahan pada tahun 2001 melalui Departemen Agama dan MUI. Yang ingin saya tanya adalah bagaimana sikap pemerintah sekarang yaitu pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mengenai RUU Pornografi?

Sebetulnya banyak pihak sepakat bahwa pornografi itu harus diregulasi tapi kemudian problemnya adalah cara untuk menjadikannya masuk dalam draft UU. Dalam hal ini banyak orang tidak memiliki skill, tidak paham bahwa ini melanggar UU No.10 tahun 2004. Jadi artinya, saya hanya bersikap positif saja bahwa regulasi pornografi terutama untuk anak-anak harus ada tapi jangan sampai ada ekses negatifnya terhadap sesuatu yang lebih prinsipil lagi yaitu kebebasan individu, kebebasan orang dewasa, institusi-institusi masyarakat seperti untuk kepentingan pendidikan jangan diberangus dan menjadi negara totaliter. Ya, karena totaliterisme selalu diselundupkan di atas maksud baik. Kalau dari semula sudah ketahuan maka tidak akan terjadi totaliter tapi itu berbahaya.

Menurut penilaian Anda, apakah demokrasi sekarang lebih membuka jalan kepada totaliterisme rakyat? Barangkali ini beda dengan totaliterisme vertikal zaman Soeharto, atau apakah demokrasi ini dalam keadaan defensif terhadap totaliterisme masyarakat?

Saya berada pada posisi melihat bahwa semua orang dalam masa transisi belajar berdemokrasi dan berpolitik, dalam hal ini berpolitik termasuk memperjuangkan kepentingan-kepentingannya. Artinya, ketika ruang berpolitik terbuka saya berharap setiap orang mau berpolitik untuk mempertahankan kepentingannya. PDI-P sesuai dengan ideologi kita yaitu Indonesia adalah negara pluralis maka semua juga harus berdasar kepada Pancasila. Jadi sikap PDI-P terhadap pornografi adalah Bhineka Tunggal Ika mutlak, tidak bisa ditawar. Jangan sampai ada penyeragaman yang bisa mengganggu kebhinekaan itu. Juga terutama karena kita negara hukum maka prinsip-prinsip hukum harus kita tegakkan. Jangan sampai ada masyarakat yang anarkis dilegitimasi oleh hukum kemudian merusak private life yang sudah dijamin oleh konstitusi, termasuk juga dalam mendefinisikan pornografi yang akan bisa membantu penegakan hukumnya. Jangan sampai ada multi interpretasi sehingga setiap orang bisa mengkriminalkan orang lain hanya karena berdasarkan interpretasi personal. Itu yang kita hindari di dalam negara hukum. Mari kita tegakkan hukum berdasarkan civil law kita yaitu Pancasila, UUD 1945, dan produk UU lain yang menggunakan moralitas universal.

Menurut Anda, apakah ini perjuangan di DPR atau juga perjuangan di masyarakat?

DPR terutama PDI-P tidak akan bisa bergerak kalau tidak mendapat sinergi dari masyarakat di luar parlemen. Kita hanya melakukan tugas untuk akselerasi kepentingan pihak-pihak yang memang bersepakat dengan frame work yang dimajukan oleh PDI-P. Namun saya pikir the good things dari RUU APP adalah mencerdaskan kita semua dan orang paham bahwa memang harus mendengarkan orang lain, juga jangan menggunakan logika mayoritas untuk memaksakan kehendak. Jadi yang minoritas juga harus dirangkul dan mayoritas tidak boleh kemudian sewenang-wenang terhadap minoritas. Itu prinsipnya dan dari dialog tersebut akan muncul hasilnya.




Kita harus berani melawan sesuatu yang totaliter. Kalau kita ingin aman maka sekali-sekali kita harus mengambil risiko. Juga satu hal lagi, maaf bukannya saya mau menjadi guru tapi pengalaman saya bergaul dengan anak-anak muda, dalam politik banyak sekali yang skeptis dan mengatakan, "Semua partai tidak benar." Menurut saya, setiap partai itu ada benarnya dan ada tidak benarnya. Saya bukan anggota PDI-P, juga bukan simpatisannya tapi saya mengikuti per isu. Dalam isu ini PDI-P memiliki perjuangan yang benar, mari kita dukung. Dalam isu lain barangkali partai lain yang benar. Apakah ada hal-hal lain yang Anda pikir belum dilakukan dalam sosialisasi ke masyarakat sebab kami dan kawan-kawan di Perspektif Baru ingin membantu?

Karena konstalasi di internal DPR tidak semua sama, jadi setiap politisi melakukan aksi-aksi politik dan cenderung meng-embrace kelompok-kelompok yang sealiran dengan mereka. Saya melihatnya ini yang tidak fair. Misalkan, pemilihan daerah di kloter pertama untuk daerah-daerah yang semua menerima RUU Pornografi. Karena itu PDI-P meminta kita juga harus menghormati pilihan-pilihan orang lain yang belum sepakat. Saya senang ketika ketua DPR kemudian menyetujui agar jangan terlalu tergesa-gesa mengesahkan dan mari akomodatif semua pihak dan datang ke daerah-daerah yang menolak. Jadi ini suatu yang menggembirakan dalam proses politik untuk RUU Pornografi ini.

Apakah ada perkiraan waktu bahwa sekitar akhir oktober ini akan diputuskan?

Ya, perkiraan waktunya demikian tapi biasanya selalu mundur. Kita tidak bisa memastikannya karena semua tergantung dinamika politik.

Menurut perkiraan Anda secara pribadi, bagaimana prospeknya?

Pasti akan diketok (disahkan – Red) tapi tidak pada masa sidang sekarang, mungkin pada masa sidang yang akan datang. Kita melihat ada 24 isu krusial tapi ketika diperbaiki itu berimplikasi pada pasal-pasal yang lain. Misalnya untuk definisi pornografi, ketika diperbaiki maka pasal-pasal tentang pemidanaan menjadi harus juga diperbaiki, tidak terpisah begitu saja. Itu tidak mungkin karena harus konsisten, harus harmonis. Itu yang kemudian mungkin sedikit makan waktu.
sumber:pontianak post